TERSAJI MEMENUHI KEBUTUHAN ANDA

TRAVELLING, FOOD, LIFESTYLE, RESTRO, EVENT, LEISURE, PLEISURE, HOTEL

Rabu, 20 April 2011

JAMU TRADISIONAL CIREBON



TAHUN 1930, Kota Cirebon terus berbenah meskipun masa kolonialisme Belanda masih bertahta. Derak ekonomi pun berjalan. Dan di tengah situasi politik yang kurang menguntungkan itu, masyarakat etnis Tionghoa mengembangkan home industry. Usaha ini penting dilakukan mengingat Krisis Ekonomi Global yang berawal di AS serta berimbas ke hampir seluruh negara. Mengutip Abdul Wahid (Bertahan di Tengah Krisis: Etnis Tionghoa dan Ekonomi Kota Cirebon, Penerbit Ombak, Yogyakarta 2009) etnis Tionghoa di berbagai kota di Indonesia menjadi pedagang makanan keluar masuk kampong, pedagang kelontong, bahkan menjadi tukang cuci setrika dengan bersepeda menjemput dan mengantarkan cucian konsumen. Upaya mempertahankan hidup yang dramatis namun bertanggung jawab itu merupakan sebuah episode pada babak dinamika ekonomi etnis Tionghoa di Indonesia.
Etnis Tionghoa menurut catatan sejarah, masuk ke Cirebon sekitar abad 18 terutama sejak meletusnya Pemberontakan Trunojoyo di Mataram. Etis Tionghoa melalui jalur pelabuhan Rembang Jawa Tengah bermigrasi ke Cirebon. Puluhan kapal itu pun mengangkut harta kekayaan mereka. Di Cirebon, mereka minta suaka politik kepada penguasa Kerajaan Cirebon saat itu. Konsekuensinya, etnis Tionghoa (kaum migran) itu pun lantas ikut membangun ekonomi Cirebon, juga mendirikan rumah ibadah (klenteng), menghidupkan kesenian tradisi dan dekat dengan keluarga keraton.
Menurut Kartani (73), budayawan gaek dari Desa Mertasinga Kabupaten Cirebon, “Kedekatan etnis Tionghoa dengan keraton itulah yang kemudian menempatkan mereka sebagai warga kelas satu. Mungkin karena jasanya mengembangkan ekonomi serta kontribusi kepada seni tradisi, yang membuat etnis Tionghoa diterima oleh pikah keraton”. Masih menurut Kartani, etnis Tionghoa pun membeli gamelan Cerbonan dari keraton seharga 25 ringgit uang emas. Gamelan seni tradisi ini antara lain digunakan untuk pentas Tari Tayub.
Roda ekonomi Kota Cirebon pun bergerak, terutama dari Pecinan yang dimotori oleh etnis Tionghoa. Berbagai usaha pun digeluti, dari yang kecil hingga menjadi distributor gula putih yang langsung berhubungan ke pabrik. Dari pedagang kelontong hingga agen perjalanan laut, dan sebagainya.
Jamu Nyonya Lim Seng Tjoan
Saat itu sedikitnya ada 6 (enam) merk jamu tradisional yag dikelola etnis Tionghoa Cirebon. Merk yang terkenal adalah Jamu Nyonya So di Jalan Petratean, Jamu Nyonya Liem Seng Tjoan, Jamu Nyonya Buyut, Jamu Nyonya Buyut, Jamu Nyonya Ideng ~keempatnya di Jalan Lemahwungkuk (Pecinan), dan Jamu Nyonya Idep di Pasar Pagi. Dari 5 (lima) industri jamu itu, kini hanya satu yang bertahan dan terus berproduksi, yaitu Jamu Nyonya Liem Seng Tjoan.
Dinamakan industri rumah karena sejak bahan datang diperoleh dari pemasok di sekitar lereng Gunung Ciremai Kabupaten Kuningan, seluruh keluarga pembuat industri jamu bahu membahu mengurai daun rempah-rempah dan pepohonan obat dari tangkainya. Bila jumlahnya mencapai 600 kg, pekerjaan itu memerlukan waktu pengerjaan selama 4 (empat) hari. Setelah itu dicuci dan dijemur selama 2 (dua) hari. Setelah kering ramuan itu digiling agar menjadi halus, lantas dipisah berdasar khasiat masing-masing. Serbuk itu pun dimasukkan ke dalam stoples kaca yang diberi etiket sesuai penggunaan dalam peracikan jamu.
Menurut Liem Hwat Thay (67), cucu Nyonya Liem Seng Tjoan, usaha jamu tradisinya memang sampai kini masih bertahan, bahkan hanya tersisa di 2 (dua) tempat, yakni jamu miliknya dan Jamu Nyonya So, namun perputarannya tidak seramai tahun 1970 – 1980 an. Kini Jamu Nyonya Liem Seng Tjoan hanya mengolah ramuan sebesar 600 kg bruto, untuk masa kadaluarsa 6 (enam) bulan. Artinya setiap 6 (enam) bulan produksi jamunya diperbarui. Itu sebabnya setiap kali ada pemeriksaan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) atau Dinas Kesehatan setempat, produksi jamunya tergolong layak jual dan tidak berbahaya bagi kesehatan konsumen.
Kendala yang muncul menurut suami Kwa Lian Tjun (63) ialah tentang regenerasi peracikan jamu. Katanya, “Anak-anak tidak ada yang bisa meramu (meracik) bahan baku jamu bagi sebuah penyakit. Padahal saya sudah mengajarkan, tapi minat anak mantu kepada usaha jamu tradisional semakin berkurang”. Ia khawatir sepeninggalnya nanti, apakah Jamu Nyonya Liem Seng Tjoan yang dibangun neneknya pada tahun 1930 ini akan tetap ada atau sebaliknya. “Anak mantu tidak ada yang mampu meracik adonan jamu”. Hal ini dibenarkan anak perempuannya Rini (29) yang mengaku cemas melihat masa depan industry jamu tradisi keluarganya. “Anak muda sekarang boleh dibilang tidak ada yang mau memisahkan daun dari tangkai pohon obat, apalagi dilakukan selama 3 (tiga) hari”, ujar Rini.
Income harian dari penjualan jamu ini berkisar Rp 100 ribu hingga Rp 200 ribu sehari. Produk Jamu Nyonya Liem Seng Tjoan sudah menyebar ke berbagai pelosok hingga ke luar Jawa, bahkan ada yang membawanya ke Belanda. Biasanya yang membawa produk jamu keluarga Liem ke Belanda adalah kerabatnya sendiri sambil menengok keluarganya di sana.
Upaya mempertahankan hidup, upaya mempertahankan bisnis keluarga pada akhirnya tidak lepas dari kecenderungan dan komitmen keturunannya untuk melestarikan usaha keluarga. Jika tidak, bergugurannya jumlah bisnis keluarga jamu dari kalangan etnis Tionghoa Cirebon ~ merupakan contoh konkrit betapa sulitnya mempertahankan bisnis keluarga. Berbagai alasan semisal beralih ke usaha di bidang teknologi komunikasi atau lainnya, kadang jadi penyebab dan sekaligus kendala matinya bisnis keluarga di sektor industri berbasis tradisi.

1 komentar:

  1. terima kasih, ini tulisan saya di suplemen pikiran rakyat bandung dan arsipnya tidak tahu di mana, dadang kusnandar

    BalasHapus